HEADLINE NEWS

Kejari Ambon Menahan 2 Kades Tersangka Kasus ADD Tahun 2015

By On August 12, 2017


KAREBADESA.ID - Maluku Tengah, Kejari Ambon menahan dua tersangka korupsi penyalahgunaan Alokasi Dana Desa (ADD) tahun 2015 di Desa Kecamatan Pulau Haruku, Kabupaten Maluku Tengah. (8/8/17)

Kedua tersangka yang ditahan yakni Kepala Desa Negeri Oma, YP alias Ocep dan Sekretaris Desa Oma, YS alias Yulianus. Keduanya dieksekusi ke Rutan Waiheru Ambon setelah menjalani pemeriksaan oleh penyidik Kejari Ambon.

Berdasarkan pantauan Kompas.com di Kantor Kejari Ambon, kedua tersangka menjalani pemeriksaan sejak pukul 11.00 WIT. Setelah menjalani pemeriksaan selama kurang lebih enam jam, keduanya langsung dibawa dengan mobil operasional Kejari Ambon ke Rutan Ambon.

Eksekusi terhadap kedua tersangka sempat mengalami keterlambatan sebab, keduanya menolak untuk dibawa ke rumah tahanan. Pihak penyidik terpaksa harus berkoordinasi dengan polisi untuk membawa kedua tersangka, namun sebelum polisi datang ke Kantor Kejari Ambon, keduanya bersedia untuk ditahan.

Salah seorang Jaksa penyidik kasus tersebut, F Teturan usai eksekusi itu dilakukan mengatakan, proses eksekusi terhadap kedua tersangka dilakukan demi kepentingan pemeriksaan ditahap penyidikan.

Dia juga mengaku penahanan dilakukan agar kedua tersangka tidak kabur atau menghilangkan barang bukti.

“Penahanan terhadap kedua tersangka dilakukan demi kepentingan pemeriksaan ditingkat penyidikan, jadi sudah sesuai prosedur,” ujarnya.

Dia menerangkan, sesuai hasil pemeriksaan yang dilakukan, perbuatan kedua tersangka diduga telah merugikan keuangan negara mencapai Rp 289 juta. Selain kasus ADD tahun 2015, kedua tersangka juga diduga menyalahgunakan ADD tahun 2016.

“Keduanya juga diduga terlibat penyalahgunaan ADD tahun 2016 dan nilainya itu lebih besar lagi, tapi kita belum bisa melakukan penyelidikan lebh lanjut karena prosesnya masih berjalan. Nanti akan kita sidik setelah kasus ADD tahun 2015 rampung,” ungkapnya.

Dia menambahkan, saat ini pihaknya masih menunggu hasil audit dari Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Maluku, meski begitu dia mengaku dari hasil audit BPKP itu tidak akan jauh berbeda dengan hasil audit kerugian negara yang dilakukan Kejari Ambon.

“Hasil audit BPKP baru akan keluar tanggal 10 Agustus besok, tapi kami yakin temuan BPKP tidak akan jauh berbeda dengan temuan Kejari Ambon,” ujarnya.

Sumber : Diolah dari kompas.com
#AyoBangunDesa 
#DesaMembangun 
#StopKorupsiDD

Kades Sengkati Batanghari Jambi Ditetapkan Tersangka

By On August 12, 2017


KAREBADESA.ID – Pasca ditetapkan sebagai tersangka, Kepala Desa (Kades) Sengkati Baru Kecamatan Mersam, berinisial HS, akhirnya di berhentikan sementara dari jabatannya. Pemberhentian Kades ini berdasarkan undang-undang nomor 6 tahun 2014 Tentang Desa.

Sebab, dalam undang-undang tersebut telah tertuang bahwa/ jika Kepala Desa melanggar aturan yang berlaku atau tersandung kasus hukum. Maka akan dilakukan tindakan pemberhentian sementara dan dapat dilanjutkan dengan pemberhentian jika benar-benar telah diputuskan bersalah.

Kepala Dinas Pemberdayaan dan Masyarakat Desa (DPMD) Kabupaten Batanghari M. Fadhil Arif, SE mengatakan, saat ini HS selaku Kades Sengkati Baru yang telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Tim Penyidik Polres Batanghari, telah diberhentikan sementara dari jabatannya.

“Iya, sebagaimana di atur dalam Undang-Undang nomor 6 tahun 2014, kita telah membuat Surat Pemberhentian Sementara terhadap Kades Sengkati Baru, sampai statusnya jelas nanti, hingga adanya putusan yang tetap. Setelah itu baru kita lakukan tindakan yang selanjutnya,” kata Fadhil.

Dikatakan Fadhil, jabatan HS ini nantinya akan diisi oleh Pejabat Sementara (Pjs) Kepala Desa yang ditunjuk langsung oleh Pemerintah Kabupaten Batanghari.

“Untuk penunjukan Pjs Kades saat ini masih dalam proses di Bagian Hukum Setda Batanghari, dan ini dilakukan agar roda pemerintahan di desa tersebut dapat berjalan sebagaimana mestinya,” imbuhnya.

Selanjutnya Fadhil menambahkan, jabatan yang diisi oleh Pjs Kades ini direncanakan sudah dapat berjalan pada pekan ini. “Insya Allah dalam minggu ini sudah dapat berjalan, kita masih menunggu persetujuan dari Bupati Batanghari untuk mengisi jabatan Kades,” ujarnya.

Selain itu, sambungnya, pemberhentian sementara ini dilakukan agar HS yang ditetapkan sebagai tersangka dapat lebih fokus untuk menyelesaikan persoalan yang tengah dihadapinya saat ini.

“Kita tetap mengedepankan azas praduga tidak bersalah, beliau diberikan kesempatan untuk menyelesaikan permasalahan ini,” sebutnya.

Selaku leading sektor desa, Kepala Dinas PMD Kabupaten Batanghari M. Fadhil menghimbau kepada seluruh Kepala Desa yang ada dalam wilayah Kabupaten Bataghari, dengan kejadian yang tengah dihadapi Kades Sengkati Baru saat ini, dapat menjadi pelajaran bagi para Kades beserta seluruh jajaran Perangkat Desa, untuk lebih berhati-hati dalam mengelola dana desa.

Di Sulteng 13 Kades Masuk Bui Karena Korupsi ADD dan Dana Desa

By On August 12, 2017


KAREBADESA.ID - Palu, Kejaksaan Tinggi Sulteng menyebutkan, setidaknya ada 13 kepala desa di Sulteng sudah inkra menjalani kasus Tipikor Dana Desa (DD) maupun Alokasi Dana Desa (ADD) di penjara.

Untuk Kabupaten Donggala yaitu HB (Desa Balukang Kecamatan Sojol), BM, DA (Kecamatan Sojol), IN dan AS. Kabupaten Toli-Toli antara lain BS, MN (Kecamatan Laulalang), SL (Kecamatan Laulalang), IA (Kecamatan Laulalang). Untuk Kabupaten Poso AA (Desa Kilo, Poso Pesisir) dan Kab Buol inisial BM (Desa Lomuli Kecamatan Tiloang).

Beberapa kasus yang sama kini terus bertambah dan lainnya akan segera menyusul.

Dari 13 nama tersebut, semuanya telah dipenjarakan dengan klasifikasi penyalah gunaan dana desa berbeda-beda. Seperti penyalah-gunaan alokasi dana desa, penyalah-gunaan retribusi laboratorium desa, tindak pidana korupsi dalam pekerjaan bidang pertanian, dari tahun anggaran 2014 hingga 2016.

Joko juga menambahkan bahwa proses hukum sebelumnya para terduga penyalah gunaan dana desa diberi tenggang waktu untuk mengembalikan uang dana awal yang mereka salah gunakan dalam rentan waktu 60 hingga 100 hari.

Untuk kasus terbaru penyalahgunaan desa, berdasarkan surat yang dilayangkan kepada Kejati masih dirahasiakan nama dan desanya, namun bersal dari Kabupaten Morowali.

Sumber : Jurnalsulawesi.com

Pola Pikir Inspektorat & BPK Tentang Penyalah gunaan Dana Desa

By On June 16, 2017


Tertangkapnya enam oknum BPK dan seorang oknum kementrian PDTT (Jurnal.Com. sabtu,27/05/2017) mengejutkan banyak pihak. Apalagi oknum PDTT yang ditangkap, pejabat setingkat Dirjen, ketua UPP (Unit Pemberantasan Pungutan Liar) Kemendes PDTT yang baru dibentuk oleh Mentri Eko Putro Sandjojo.

Peristiwa OTT oleh KPK mengindikasikan bagaimana semrawutnya kondisi Managerial pemerintahan di kementrian PDTT yang digawangi oleh Mentri Eko Putro Sandjojo.

Kondisi demikian, makin terasa jika dihubungkan dengan beban desa dalam pengelolaan roda pemerintahan desa. Kesalahan dalam pengelolaan, akan berakibat patal. Terutama dalam pengelolaan dana desa. Dana desa yang salah kelola, akan menjadi sasaran tembak BPK dan Inspektorat.

Bukankah wajar, jika penggunaan dana desa harus diawasi, dan penyalah-gunaan dalam pelaksanaan dana, harus memperoleh sanksi. Dan pihak yang paling berkompeten dalam mengaudit dana desa, Inspektorat dan BPK.

Logika yang dibangun diatas, sepintas, terlihat benar dan tidak salah. Benar dan tidak salah, jika saja, segala perangkat pendukungnya telah dipersiapkan secara matang oleh kementrian PDTT. Namun, jika hal demikian belum dilakukan. Maka, apa yang dilakukan oleh Inspektorat dan BPK adalah sesuatu yang salah. Terdapat sesat pikir pada tindakan yang dilakukan Inspektorat dan BPK.

Dalam tinjauan sesat pikir yang dilakukan oleh Ispektorat dan BPK saya membatasi diri hanya pada penggunaan dana dalam pekerjaan infrastruktur. Sedangkan untuk bidang yang lain, akan saya bahas pada tulisan yang lain.

Kondisi kekinian yang terjadi pada desa.

Kondisi kekinian yang terjadi di desa, dapat digambarkan, desa dibiarkan berjalan tanpa di dampingi oleh Kader Tehnik Desa dan Pendamping Desa Tekhnik Infrastruktur (PDTI). Jumlah mereka bukan tidak ada sama sekali. Melainkan sangat minim, jika dibandingkan dengan kebutuhan yang harus dipenuhi. Sebagai contoh, Provinsi Banten. Dari kebutuhan PDTI sebanyak 110 PDTI hanya terisi sebanyak 15 PDTI. Artinya, hanya terisi sebanyak 13,64 % dari kebutuhan PDTI. Hal yang sama, hampir terjadi pada semua Provinsi di Indonesia.

Akibatnya, sebanyak 86,36 % kecamatan yang tanpa didampingi tenaga PDTI akan mencari tenaga Tekhnik dari luar kecamatan dan luar dari PDTI. Sebuah langkah terobosan cerdas yang dibenarkan secara aturan. Namun, dari kondisi inilah semua masalah berawal.

Indikasi Penyalah gunaan Dana yang dilakukan Desa.

Dalam pemeriksaan (audit) yang dilakukan oleh Inspektorat atau BPK, maka dasar kerja yang mereka lakukan adalah pemisahan secara tegas antara rencana, pelaksanaan dan hasil akhir yang diperoleh. Tanpa melihat latar belakang, mengapa hal demikian dapat terjadi.

contohnya, Jika pada rencana anggaran biaya, pembuatan pekerjaan jalan dengan rabat beton misalnya, tertera panjang 100 meter, maka hasil akhir yang dilihat oleh Inspektorat dan BPK haruslah 100 meter. Jika kurang dari 100 meter, maka desa terindikasi melakukan penyalah gunaan dana Infrastrukture.

Padahal, pada kenyataannya, desa tidak melakukan penyalah gunaan dana infrastruktur. Lalu, dimana masalahnya. Sehingga timbul masalah dengan kesimpulan akhir, telah terjadi penyalah gunaan dana Infrastrukture.

Untuk menjawab pertanyaan ini, kemungkinannya adalah sebagai berikut :

Satu, Desa menggunakan jasa non PDTI.

Ketika desa ingin merencanakan jalan rabat 100 meter, Desa memberikan data pada pembuat RAB (Rencana Anggaran Biaya) non PDTI, berupa jumlah nominal dana tersedia sesuai RAPBDes, panjang rencana jalan dan daftar survey harga. Setelah dihitung oleh non PDTI ternyata, panjang jalan yang dimungkinan dengan harga nominal yang sesuai APBDes hanya cukup 80 m. data ini, lalu diberikan pada desa, Namun, desa bersikeras agar dana tersebut cukup untuk 100 m. Akibatnya, sang pembuat RAB non PDTI melakukan modifikasi berbagai hal. Bisa dengan memperkecil harga beli material, atau menambah swadaya tenaga kerja (HOK) atau dengan merubah analisa. Apa yang terjadi kemudian?. Ketika pelaksanaan dilakukan, harga material yang dibeli oleh TPK tetap seharga material ketika dilakukan survey. Demikian juga jumlah swadaya tenaga kerja, tidak mungkin digenjot sebanyak yang sesuai pada RAB. Akibatnya, ketika TPK dengan segala upaya penghematan telah berupaya pada pekerjaannya, maka hasil akhir yang mampu mereka peroleh hanya 90 m.

Dua, Desa menggunakan Jasa non PDTI.

Karena, prinsip awalnya tenaga akhli non PDTI hanya memikirkan fee yang bakal mereka peroleh ketika membuat RAB. Maka, non PDTI hanya memerlukan data berapa besar nominal pekerjaan sesuai APBDes dan berapa target volume yang diingnkan desa. Kemudian, mengerjakan RAB sesuai permintaan sang pemberi order, dalam hal ini desa. Maka, akibat yang terjadi, hasil akhir akan sama seperti yang terjadi pada point satu.

Tiga, Menjadi obyek para Tenaga Ahli Kabupaten.

Para tenaga Ahli, akan berusaha mengumpulkan desa-desa pada kecamatan yang tak memiliki PDTI. Lalu, dengan bahasa pembinaan, dibuatlah RAB secara massal dan dengan waktu singkat. Mereka yang dibina adalah tenaga desa, yang sama sekali awam tentang Tekhnis. Lalu, dengan biaya pembinaan yang tidak kecil, selesailah RAB yang dikerjakan. Dengan cara pembinaan yang ngebut dan dikerjakan tenaga awam, maka hasil yang diperoleh sangat meragukan, jika tidak dapat dikatakan amburadul.

Dari ketiga kemungkinan diatas, apakah desa melakukan penyalah gunaan dana? Sama sekali tidak, desa tidak melakukan penyalah gunaan dana.

Empat, Pendampingan yang Mutlak dibutuhkan.

Okelah, urusan pembuatan RAB sesuai dengan kondisi ideal. Apakah masalahnya selesai? Ternyata belum. BPK dan Inspektoran memerlukan laporan pelaksanaan, bagaimana laporan penggunaan dana (LPD), bagaimana dana dicairkan (RPD), bagaimana kualitas Material yang digunakan, dan kapan dana berikutnya dicairkan (verifikasi). Untuk mengawasi seluruh tahap pelaksanaan itu, kehadiran PDTI mutlak dibutuhkan desa. Pertanyaannya, apakah non PDTI mau mendampingi proses pelaksanaan ini? Hemat saya, hal ini sulit dilakukan.

Dengan melihat empat kemungkinan diatas. Apakah benar jika desa dibidik oleh BPK dan Inspektorat terhadap tuduhan penyalah gunaan dana infrastruktur yang dilakukan desa. Meski desa memang tidak melakukannya.

Jika Inspektorat dan BPk tetap pada prinsipnya, ingin melakukan sanksi terhadap penyalah gunaan dana desa Infrastrukture. Maka, kondisi inilah yang saya sebut sebagai sesat pikir BPK dan Inspetorat.

Lalu, siapa yang paling bertanggung jawab atas fenomena diatas? Dengan tegas, saya katakan, kementrian PDTTlah yang paling bertanggung jawab. Merekalah pihak yang paling dulu ditangkap oleh BPK dan Inspektorat.

Desa hanyalah korban dari kebijakan yang dilakukan PDTT. Kebijakan yang berimbas pada tidak terpenuhinya kuota kebutuhan PDTI pada setiap kecamatan. Apapun alasannya. Bukankah pemerintahan Jokowi sudah berlangsung selama tiga tahun. Lalu, apa saja tugas yang mereka lakukan, hingga soal perekrutan PDTI saja, hingga kini belum selesai? Wallahu A’laam.

BPK juga menemukan pemborosan keuangan negara atas pembiayaan Tenaga Pendamping Profesional (TPP) yang tak kompeten

By On June 01, 2017


Karebadesa.id - Kementerian Desa, Pengembangan mendapatkan predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) atas laporan keuangan lembaga itu pada 2016. 

Predikat WTP merupakan predikat terbaik yang diberikan oleh lembaga auditor negara itu ke objek yang diaudit. Dalam Laporan Hasil Pemeriksaan BPK RI atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat 2016 disebutkan predikat itu diberikan kepada lembaga negara periode 2012-2016. 

Pada 2012, Kemendes mendapatkan predikat WTP-Dengan Paragraf Penjelasan; Wajar Tanpa Pengecualian (2013); Wajar Dengan Pengecualian (2014); Wajar Dengan Pengecualian (2015); dan Wajar Tanpa Pengecualian (2016).

Meskipun demikian, BPK juga mencatat permasalah pada pengendalian internal atas pengelolaa belanja kementerian tersebut. Di antaranya soal standar gaji yang berbeda untuk tenaga ahli dan asisten tenaga ahli pada 2015 di Ditjen Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa (PPMD). 

"Sehingga mengakibatkan peningkatan biaya gaji," demikian BPK dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester II Tahun 2016 yang dikutip CNNIndonesia.com, 
Jumat (26/5). 

Selain itu, BPK juga menemukan pemborosan keuangan negara atas pembiayaan Tenaga Pendamping Profesional (TPP) yang tak kompeten. Lainnya adalah pembayaran bantuan biaya operasional yang tak tepat serta harga yang lebih mahal untuk penyewaan laptop. 

Dalam laporan itu, BPK menemukan pemborosan itu mencapai Rp18,99 miliar. 

Terkait predikat WTP, KPK menetapkan empat tersangka dalam kasus dugaan korupsi yang dilakukan pejabat di Kemendes dan BPK. Mereka adalah Sugito (Irjen Kemendes); Jarot Budi Prabowo (pejabat Eselon III Kemendes); Ali Sadli (auditor BPK); dan Rachmadi Saptogiri (Eselon I BPK). 

Kekurangan Volume Pekerjaan

Sedangkan di sisi lain, auditor negara itu juga menemukan kekurangan volume pada pekerjaan pada paket pekerjaan peternakan modern, pembangunan jalan dan pengadaan sistem informasi terkait dengan sarana serta sarana desa. 

"Mengakibatkan kerugian atau potensi kerugian," demikian BPK. "Selain itu terdapat kelebihan pembayaran atas pemahalan harga dan pembayaran honor melebihi standar." 

Dalam hal ini, temuan BPK menemukan nilai anggaran yang bermasalah itu adalah Rp6,73 miliar.

Sumber : cnnindonesia.com
Reporter: Anugerah Perkasa

Contact Form

Name

Email *

Message *