HEADLINE NEWS

Kedudukan Sekretaris Desa dan Anggota/Ketua BPD dalam TPK

By On September 19, 2017


KAREBADESA.ID - Banyaknya pertanyaan perihal boleh tidaknya Sekretaris Desa maupun anggota/ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD) menjadi anggota/ketua Tim Pengelola Kegiatan (TPK) Desa, menjadi dasar bagi penulis untuk mencoba menelaah dan mengulasnya, sesuai dengan peraturan perundang-undangan untuk dapat menyimpulkan, boleh tidaknya Sekretaris Desa maupun anggota/ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD) menjadi anggota/ketua Tim Pengelola Kegiatan (TPK) Desa. Marilah kita ulas mulai dari Sekretaris Desa

1. SEKRETARIS DESA
Anggapan Sekretaris Desa dapat menjadi Anggota maupun Ketua TPK adalah mengacu dari aturan bahwa TPK terdiri dari unsur Pemerintah Desa, yang dimaksud unsur Pemerintah Desa adalah Perangkat Desa, dan Sekretaris Desa juga merupakan perangkat Desa, apabila dasar acuannya seperti itu memang tidak salah apabila Sekretaris Desa menjadi bagian dari TPK, tetapi dalam memahami dan mencari acuan atau dasar hukum, tidak bisa hanya mengacu pada satu aturan, kita wajib melihat aturan dari aspek-aspek yang lain, dasar aturan yang digunakan tidak hanya dari satu aturan tetapi secara menyeluruh sehingga dalam pengambilan keputusan kita terhindar dari kesalahan.
Dasar hukum kenapa Sekretaris Desa tidak boleh menjadi anggota/ketua TPK tercantum dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 113 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Keuangan Desa pada Pasal 5 Ayat (1) menjelaskan bahwa Sekretaris Desa adalah koordinator pelaksana teknis pengelolaan keuangan desa, dan di ayat (2) menyebutkan tugas Sekretaris Desa, dimana di di ayat (2) tersebut tidak ada kalimat yang secara tegas menyebutkan Sekretaris Desa adalah pelaksana kegiatan. Pelaksana Kegiatan menurut Permendagri 113/2014 tersebut adalah Kepala Seksi/Kepala Urusan sebagaimana disebutkan pada Pasal 6 Ayat (1) dan Ayat (2). Permendagri 113/2014 pada Pasal 5, Pasal 20 dan Pasal 27 ini secara tegas menempatkan posisi Sekretaris Desa di ranah pengelolaan Keuangan Desa yaitu Perencanaan APBDes dan Pelaksanaan (dalam hal ini verifikasi Rencana Anggaran Biaya) bukan teknis kegiatan/pekerjaan.

Yang harus digaris bawahi adalah Sekretaris Desa adalah KOORDINATOR PELAKSANA TEKNIS PENGELOLAAN KEUANGAN DESA sedangkan koordinator untuk kegiatan pelaksanaan pekerjaan pembangunan di Desa adalah Kepala Desa lihat di Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 114 Tahun 2014 Tentang Pedoman Pembangunan Desa Pasal 52 ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4).

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa juga secara tegas melarang Sekretaris Desa selaku perangkat desa merangkap jabatan yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan Pasal 51 UU 6/2014 huruf f yang berbunyi “melakukan kolusi, korupsi, dan nepotisme, menerima uang, barang, dan/atau jasa dari pihak lain yang dapat memengaruhi keputusan atau tindakan yang akan dilakukannya” dan juga huruf i yaitu “merangkap jabatan sebagai ketua dan/atau anggota Badan Permusyawaratan Desa, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, dan JABATAN LAIN YANG DITENTUKAN DALAM PERATURAN PERUNDANGAN-UNDANGAN.

2. BADAN PERMUSYAWARATAN DESA (BPD)
Sebelum dibahas tentang boleh tidaknya anggota/ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD) duduk dalam TPK perlu diperjelas dan diketahui apa itu BPD. Badan Permusyawaratan Desa (BPD) adalah lembaga yang melaksanakan fungsi pemerintahan yang anggotanya merupakan wakil dari penduduk desa berdasarkan keterwakilan wilayah dan ditetapkan secara demokratis (Pasal 1 angka 4 UU 6/2014). Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) merupakan mitra dan memiliki kedudukan yang sama, yakni sama-sama merupakan kelembagaan desa yang sejajar dengan lembaga kemasyarakatan desa dan lembaga adat, keduanya memiliki kedudukan yang sama, namun dengan fungsi yang berbeda, Contoh dari kedudukan yang sama tersebut adalah Kepala Desa dan BPD membahas dan menyepakati bersama peraturan desa (Pasal 1 angka 7 dan Pasal 55 huruf a UU 6/2014).

Di Pasal 55 UU 6/2014 huruf c jelas berbunyi BPD berfungsi melakukan pengawasan kinerja Kepala Desa, Pengadaan barang jasa di Desa yang dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 114 Tahun 2014 Tentang Pedoman Pembangunan Desa Pasal 52 ayat (1) Kepala Desa selaku Koordinator Kegiatan Pembangunan Desa adalah salah satu tolak ukur dari kinerja Kepala Desa, Bagaimana mungkin Kedudukan anggota/ketua BPD yang setara dengan Kepala Desa, justru di bawah Koordinator kepala Desa, dan apabila anggota/ketua BPD duduk dalam TPK, bukan hanya kinerja Kepala Desa saja yang mereka awasi, mereka anggota/ketua BPD juga mengawasi diri mereka sendiri. Apabila anggota/ketua BPD duduk di TPK, Hak BPD sebagaimana disebutkan dalam Pasal 61 UU 6/2014 huruf a yaitu “mengawasi dan meminta keterangan tentang penyelenggaraan Pemerintahan Desa kepada Pemerintah Desa” dan huruf b “menyatakan pendapat atas penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa” dan juga hak anggota BPD sebagaimana diamanatkan pada Pasal 62 UU 6/2014 huruf b dan huruf c tersebut tidak dapat dilaksanakan karena konflik kepentingan. Dan secara tegas disebutkan pada Pasal 64 UU 6/2014 huruf b yang berbunyi “melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme, menerima uang, barang, dan/atau jasa dari pihak lain yang dapat memengaruhi keputusan atau tindakan yang akan dilakukannya”, huruf c “menyalahgunakan wewenang”, huruf d “melanggar sumpah/janji jabatan”, dan huruf g yang berbunyi “sebagai pelaksana proyek Desa”

Dari uraian diatas dapat disimpulkan tentang hal-hal yang menyebabkan Sekretaris Desa dan Anggota/Ketua BPD tidak diperbolehkan duduk dalam TPK, baik sebagai anggota maupun Ketua. Pelanggaran terhadap ketentuan perundang-undangan yang telah disebutkan diatas Sekretaris Desa sebagai perangkat Desa dikenakan sangsi seperti yang diatur di Pasal 52 UU 6/2014, sedangkan untuk anggota/Ketua BPD yang melalaikan kewajiban dan larangan seperti disebutkan di Pasal 63 dan 64 UU 6/2014 juga dikenakan sangsi sesuai peraturan perundang-undangan.

Demikian uraian ini disampaikan, apabila ada ketidaksesuaian dengan peraturan perundang-undangan lain mohon koreksinya, semoga dapat menjadi bahan dan dijadikan dasar dari setiap pengambilan keputusan perihal Pengadaan Barang Jasa di Desa, dan juga uraian diatas dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan yang di tujukan kepada saya perihal boleh tidaknya Sekretaris Desa maupun anggota/ketua BPD duduk dalam TPK, baik sebagai anggota maupun ketua TPK.

Tugas TPK Dalam Pengadaan Barang dan Jasa Di Desa

By On August 12, 2017

Salah Satu Pekerjaan Dana Desa 2017
Desa Pelalan Kab. Luwu (Dok.Asbi Assidik)

Berdasarkan Peraturan Kepala LKPP nomor 13 tahun 2013, Pengadaan barang dan jasa di desa yang pembiayaannya besumber dari APBDes tidak mengikuti aturan dalam Perpres 54 tahun 2010. Pengadaan barang/jasa di desa pada prinsipnya dilakukan secara swakelola dengan aturan sebagai berikut: 
  • Memaksimalkan penggunaaan material / bahan dari wilayah setempat 
  • Dilaksanakan secara gotong royong dengan melibatkan partisipasi masyarakat setempat.
  • Untuk memperluas kesempatan kerja
  • Untuk pemberdayaan masyarakat setempat 
Namun, ternyata tidak semua pengadaan barang/ jasa di desa dilaksanakan secara swakelola. Jika dalam proses pengadaan tersebut ada yang tidak dapat dilaksanakan secara swakelola, baik sebagian maupun keseluruhan, dapat dilaksanakan oleh penyedia barang/jasa yang dianggap mampu.

Prinsip Pengadaan Barang/Jasa di Desa

Dibandingkan dengan perpres 54/2010, prinsip pengadaan barang/ jasa di desa sedikit berbeda. Hal ini tentu saja menyesuaikan dengan kondisi sosial masyarakat di desa.

Berikut matrik perbandingan prinsip dasar pengadaan barang dan jasa berdasarkan Perpres 54 tahun 2010, Perka LKPP nomor 13 tahun 2013 dan Perka LKPP No 22 tahun 2015. Perubahan Perka LKPP nomor 13 tahun 2013 ke Perka LKPP No 22 tahun 2015 tidak ada perubahan mengenai prinsip pengadaan barang/jasa di desa.


Sedangkan etika dalam pengadaan barang/jasa desa adalah:
  1. Bertanggung jawab mencegah kebocoran dan pemborosan keuangan desa 
  2. Patuh terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan 
Jika dalam pengadan barang/jasa secara umum memerlukan ULP/Pejabat pengadaan, maka setiap desa wajib membentuk Tim Pengelola Kegiatan (TPK) melalui surat keputusan Kepala Desa. Tim Pengelola Kegiatan (TPK) terdiri atas unsur pemerintah desa dan unsur lembaga kemasyarakatan desa untuk melaksanakan pengadaan barang/jasa. TPK inilah yang akan melaksanakan kegiatan pengadaan barang/jasa melalui swakelola, yang meliputi kegiatan persiapan, pelaksanaan, pengawasan, penyerahan, pelaporan dan pertangungjawaban hasil pekerjaan.

Walaupun secara garis besar PBJ desa dilaksanakan dengan swakelola, namun jika dalam kegaian tersebut membutuhkan material dan peralatan yang mendukung pelaksanaan swakelola atau untuk memenuhi kebutuhan barang/ jasa secara langsung, maka tetap harus menggunakan penyedia.

Persyaratan penyedia barang/jasa desa sendiri diantaranya adalah penyedia yang dianggap mampu serta memiliki tempat/lokasi usaha, kecuali untuk tukang batu, tukang kayu dan sejenisnya. Khusus untuk pekerjaan konstruksi, maka penyedia harus mampu menyediakan tenaga ahli/peralatan yang diperlukan selama pelaksanaan pekerjaan hingga selesai.

Misalnya: kegiatan membangun gorong-gorong di lingkungan desa. Kegiatan membangun gorong-gorongnya itu adalah swakelola, namun dalam pengadaan material, tukang batu, tukang kayu tetap memerlukan penyedia.

Praktisnya, terdapat proses lelang ketika menentukan penyedia (toko yang akan menyediakan bahan material). Walaupun beberapa pekerjaan dilakukan dengan cara gotong royong, namun tetap ada tukang yang akan bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pekerjaan tersebut. Hal ini dilaksanakan dengan tidak menyalahi prinsip dasar PBJ desa, mengedepankan kebersamaan, kekeluargaan, dan kegotongroyongan. Banyak sekali kegiatan pembangunan desa yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa dan kualitas hidup manusia serta penanggulangan kemiskinan melalui pemenuhan kebutuhan dasar, pembangunan sarana dan prasarana desa, pengembangan potensi ekonomi lokal, serta pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan secara berkelanjutan. Kegaitan pembangunan ini yang diterjemahkan melalui kegiatan pengadaan.

Tugas Tim Pengelola Kegiatan (TPK) desa dalam proses pengadaan antara lain :
  1. Menyusun RAB 
  2. Menyusun spesifikasi teknis barang/jasa jika diperlukan 
  3. Melaksanakan pembelian / pengadaan 
  4. Memeriksa penawaran 
  5. Melakukan negosiasi (tawar menawar) 
  6. Menandatangani surat perjanjian (ketua TPK) 
  7. Melakukan perubahan ruang lingkup pekerjaan 
  8. Melaporkan kemajuan pelaksanaan pengadaan kepada kepala desa 
  9. Menyerahkan hasil pekerjaan setelah selesai 100% kepada kepala desa 
Pembagian Jenis Pengadaan Barang/Jasa Desa Berdasarkan Nilai Pekerjaan

Pengadaan barang/jasa melalui swakelola dilakukan oleh TPK. Khusus untuk konstruksi, maka dipilih salah satu anggota TPK sebagai penanggung jawab teknis pelaksanaan pekerjaan yang dianggap mampu dan mengetahui teknis pekerjaan. Untuk pengadaan barang/jasa melalui penyedia, ketentuan yang berlaku sebagai berikut:
  1. Pengadaan barang/jasa yang bernilai sampai dengan Rp50.000.000,00 (Lima Puluh Juta Rupiah) dilakukan pembelian langsung oleh TPK kepada satu penyedia tanpa permintaan penawaran dan tanpa penawaran tertulis dari penyedia serta ditindaklanjuti dengan negosiasi (tawar-menawar) dan akhirnya mendapatkan bukti transaksi untuk dan atas nama TPK. Bukti transaksi cukup menggunakan nota, faktur pembelian, atau kuitansi.
  2. Pengadaan barang/jasa yang bernilai di atas Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) sampai dengan Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dilakukan oleh TPK melalui pembelian langsung kepada satu penyedia dengan cara mengirimkan permintaan penawaran dan kemudian penyedia memasukkan penawaran tertulis yang dilampiri dengan daftar barang/jasa dan harga. TPK kemudian melakukan tawar menawar untuk mendapatkan harga yang lebih murah. Setelah deal (kedua belah pihak setuju), penyedia menyiapkan dan memberikan bukti transaksi dengan menggunakan nota, faktur pembelian, atau kuitansi untuk dan atas nama TPK.
  3. Pengadaan barang/jasa yang bernilai di atas Rp200.000.000,00 (Dua Ratus Juta Rupiah) dilakukan oleh TPK dengan mengundang/mengirimkan permintaan penawaran kepada dua penyedia barang/jasa dan kemudian penyedia memasukkan penawaran tertulis yang dilampiri daftar barang/jasa, spesifikasi dan harga. TPK kemudian melakukan penilaian terhadap pemenuhan spesifikasi dan dilanjutkan dengan tawar menawar secara bersamaan kepada dua penyedia yang memenuhi persyaratan teknis tersebut. Namun jika hanya satu yang memenuhi spesifikasi teknis, dilanjutkan dengan tawar menawar kepada penyedia yang memenuhi spesifikasi teknis tersebut. Akan tetapi, jika keduanya tidak memenuhi spesifikasi teknis, maka proses akan diulang dari awal. Hasil negosiasi dituangkan dalam bentuk surat perjanjian
Sumber : diolah dari pengadaan.web.id

Dasar Hukum dan Pengertian CCO (Contract Change Order)

By On August 08, 2017


Pelaksanaan kontrak pengadaan barang/jasa dalam hal ini pekerjaan fisik kadangkala sering mengalami pekerjaan tambah/kurang bisa dikarenakan mengubah spesifikasi teknis pekerjaan sesuai dengan kebutuhan lapangan, hal tersebut dinamakan CCO (Contract Change Order). Contohnya dalam pekerjaan jalan rabat beton dalam kontrak volume 100m x 15cm = 15 m3. Akan tetapi kenyataan di lapangan hanya dilaksanakan ketebalan 10cm. Maka harus ditambah panjang volumenya agar mencapai volume yang direncanakan, Atau bisa juga menambah item perhitungan pada pekerjaan lain. Dengan total nilai tetap seperti yang terkontrak maka volume yang berbeda pada rencana awal harus di CCO alias perhitungan tambah/kurang, tanpa merubah isi kontrak dan nilai jumlah kontrak.

Apa perbedaan antara CCO (Contract Changer Order), Adendum dan Amandemen Kontrak?
‘apa perbedaan addendum dan amandemen’. Secara retorika, yang bertanya menjawab bahwa addendum adalah penambahan/perubahan dokumen pada saat lelang atau sebelum kontrak ditandatangani, sedangkan amandemen adalah penambahan/perubahan setelah kontrak berjalan atau telah ditandatangani. Apa demikian?.

Untuk mengkajinya harus merujuk kepada Hukum Kontrak yang berlaku. Apa saja yang dikatakan oleh aturan-aturan yang menyangkut kontrak dan aturan yang terkait.

Berdasarkan ketentuan-ketentuan yang ada sebenarnya CCO (Contract Change Order), Addendum dan Amandemen Kontrak adalah istilah yang sama, hanya Addendum dan Amandemen Kontrak merupakan produk lanjutan dari CCO (Contract Change Order). Jika terjadi CCO berarti akan terjadi Addendum atau Amandemen Kontrak, sedangkan jika terjadi Addendum atau Amandemen belum tentu telah terjadi CCO.

Mari dilihat dasar hukum alasannya.
Perpres 54 tahun 2010 Pasal 87 Ayat 1 tentang Perubahan Kontrak menyatakan sebagai berikut:
  1. Dalam hal terdapat perbedaan antara kondisi lapangan pada saat pelaksanaan, dengan gambar dan/atau spesifikasi teknis yang ditentukan dalam Dokumen Kontrak, PPK bersama Penyedia Barang/Jasa dapat melakukan perubahan Kontrak yang meliputi:
  2. Menambah atau mengurangi volume pekerjaan yang tercantum dalam Kontrak;
  3. Menambah dan/atau mengurangi jenis pekerjaan;
  4. Mengubah spesifikasi teknis pekerjaan sesuai dengan kebutuhan lapangan; atau
  5. Mengubah jadwal pelaksanaan.
Perka LKPP No. 2 tahun 2011 tentang Standar Dokumen Pengadaan pada Bagian Syarat-syarat Umum Kontrak (SSUK) Klausul Addendum atau Perubahan Kontrak dalam hal ini diambil dari Standar Dokumen Pengadaan Pekerjaan Konstruksi Metoda Pascakualifikasi

34.1 Kontrak hanya dapat diubah melalui adendum kontrak.

34.2 Perubahan Kontrak bisa dilaksanakan apabila disetujui oleh para pihak, meliputi: 
  • perubahan pekerjaan disebabkan oleh sesuatu hal yang dilakukan oleh para pihak dalam kontrak sehingga mengubah lingkup pekerjaan dalam kontrak;
  • perubahan jadwal pelaksanaan pekerjaan akibat adanya perubahan pekerjaan;
  • perubahan harga kontrak akibat adanya perubahan pekerjaan, perubahan pelaksanaan pekerjaan dan/atau penyesuaian harga.
34.3 Untuk kepentingan perubahan kontrak, PA/KPA dapat membentuk Panitia/Pejabat Peneliti Pelaksanaan Kontrak atas usul PPK.

Berdasarkan ketentuan di atas jelas dapat diketahui bahwa perubahan kontrak dapat dilakukan dengan Adendum Kontrak. Artinya segala sesuatu perubahan pada kontrak dilakukan melalui Adendum Kontrak.

Jenis Adendum Kontrak adalah:
  • Adendum akibat perubahan lingkup pekerjaan (CCO) atau sering disebut Adendum Tambah/Kurang, yang terbagi menjadi 4 (empat) jenis perlakuan, yaitu:
  1. Adendum Tambah/Kurang, nilai kontrak tetap. 
  2. Adendum Tambah/Kurang, nilai kontrak bertambah 
  3. Adendum Tambah/Kurang, nilai kontrak tetap, target/sasaran berubah 
  4. Adendum Tambah/Kurang, nilai kontrak bertambah, target/sasaran berubah
  • Adendum akibat perubahan jadwal pelaksanaan pekerjaan atau sering disebut Adendum Waktu.
  • Adendum akibat penyesuaian harga/eskalasi atau sering disebut sebagai Adendum Penyesuaian Harga/Eskalasi atau sering disebut Adendum Harga/Nilai Kontrak. Basanya adendum jenis ini untuk kontrak tahun jamak (multy years contract) atau terdapat kenaikan harga bahan bakar minyak.
Sekarang, apa saja yang disebut CCO (Contract Changer Order) atau Perintah Perubahan Kerja/Kontrak tersebut? CCO dalam Perpres 54/2010 disebut juga Perubahan Lingkup Pekerjaan. Pada Perpres 54/2010 Pasal 87 pada kutipan di atas dapat terlihat jelas karakteristik CCO:

(1) Dalam hal terdapat perbedaan antara kondisi lapangan pada saat pelaksanaan, dengan gambar dan/atau spesifikasi teknis yang ditentukan dalam Dokumen Kontrak, PPK bersama Penyedia Barang/Jasa dapat melakukan perubahan Kontrak yang meliputi:

a. menambah atau mengurangi volume pekerjaan yang tercantum dalam Kontrak;
b. menambah dan/atau mengurangi jenis pekerjaan;
c. mengubah spesifikasi teknis pekerjaan sesuai dengan kebutuhan lapangan; atau
d. mengubah jadwal pelaksanaan.

(2) Pekerjaan tambah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan ketentuan: tidak melebihi 10% (sepuluh perseratus) dari harga yang tercantum dalam perjanjian/Kontrak awal; dan tersedianya anggaran.

(3) Penyedia Barang/Jasa dilarang mengalihkan pelaksanaan pekerjaan utama berdasarkan Kontrak, dengan melakukan subkontrak kepada pihak lain, kecuali sebagian pekerjaan utama kepada penyedia Barang/Jasa spesialis.

(4) Pelanggaran atas ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Penyedia Barang/Jasa dikenakan sanksi berupa denda yang bentuk dan besarnya sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Dokumen Kontrak.

(5) Perubahan kontrak yang disebabkan masalah administrasi, dapat dilakukan sepanjang disepakati kedua belah pihak.

Sedangkan pada Standar Dokumen Pengadaan Pekerjaan Kontruksi Pasca Kualifikasi Klausal Perubahan Lingkup Pekerjaan dapat dikutip sebagai berikut:

35.1 Apabila terdapat perbedaan yang signifikan antara kondisi lokasi pekerjaan pada saat pelaksanaan dengan gambar dan spesifikasi yang ditentukan dalam Dokumen Kontrak, maka PPK bersama penyedia dapat melakukan perubahan kontrak yang meliputi antara lain :
  • menambah atau mengurangi volume pekerjaan yang tercantum dalam kontrak;
  • mengurangi atau menambah jenis pekerjaan;
  • mengubah spesifikasi teknis dan gambar pekerjaan sesuai dengan kebutuhan lokasi pekerjaan; dan/atau
  • melaksanakan pekerjaan tambah yang belum tercantum dalam kontrak yang diperlukan untuk menyelesaikan seluruh pekerjaan.
Dari klausul di atas terlihat bahwa jenis CCO atau Perintah Perubahan Kontrak atau Perintah Perubahan Kerja atau Perubahan Lingkup Pekerjaan adalah sebagai berikut:
  1. Pekerjaan Tambah/Kurang (Volume dan Jenis Pekerjaan)Volume pekerjaan pada item-item jenis pekerjaan yang terdapat dalam Kontrak bertambah/berkurang disesuaikan kondisi.
  2. Perubahan Spesifikasi Teknis dan Gambar Pekerjaan, pada Pekerjaan Konstruksi perubahan ini sering disebut Revisi DesainRevisi desain dilakukan jika terdapat perubahan yang sangat signifikan dan kondisi lapangan membutuhkan perubahan penanganan sehingga desain atau spesifikasi teknis berubah.
  3. Penambahan Pekerjaan BaruPenambahan item jenis pekerjaan yang sebelumnya tidak terdapat dalam Kontrak dikarenakan kondisi lapangan membutuhkan penanganan jenis pekerjaan tersebut.
Sebagai catatan sebelum dilaksanakannya pekerjaan CCO harus sudah ada Berita Acara Persetujuan CCO yang terdiri dari Kepala Unit/Instansi terkait, pelaksana, perencana, dan pengawas. 

Sumber: Diolah Dari pengadaan.web.id

Pola Pikir Inspektorat & BPK Tentang Penyalah gunaan Dana Desa

By On June 16, 2017


Tertangkapnya enam oknum BPK dan seorang oknum kementrian PDTT (Jurnal.Com. sabtu,27/05/2017) mengejutkan banyak pihak. Apalagi oknum PDTT yang ditangkap, pejabat setingkat Dirjen, ketua UPP (Unit Pemberantasan Pungutan Liar) Kemendes PDTT yang baru dibentuk oleh Mentri Eko Putro Sandjojo.

Peristiwa OTT oleh KPK mengindikasikan bagaimana semrawutnya kondisi Managerial pemerintahan di kementrian PDTT yang digawangi oleh Mentri Eko Putro Sandjojo.

Kondisi demikian, makin terasa jika dihubungkan dengan beban desa dalam pengelolaan roda pemerintahan desa. Kesalahan dalam pengelolaan, akan berakibat patal. Terutama dalam pengelolaan dana desa. Dana desa yang salah kelola, akan menjadi sasaran tembak BPK dan Inspektorat.

Bukankah wajar, jika penggunaan dana desa harus diawasi, dan penyalah-gunaan dalam pelaksanaan dana, harus memperoleh sanksi. Dan pihak yang paling berkompeten dalam mengaudit dana desa, Inspektorat dan BPK.

Logika yang dibangun diatas, sepintas, terlihat benar dan tidak salah. Benar dan tidak salah, jika saja, segala perangkat pendukungnya telah dipersiapkan secara matang oleh kementrian PDTT. Namun, jika hal demikian belum dilakukan. Maka, apa yang dilakukan oleh Inspektorat dan BPK adalah sesuatu yang salah. Terdapat sesat pikir pada tindakan yang dilakukan Inspektorat dan BPK.

Dalam tinjauan sesat pikir yang dilakukan oleh Ispektorat dan BPK saya membatasi diri hanya pada penggunaan dana dalam pekerjaan infrastruktur. Sedangkan untuk bidang yang lain, akan saya bahas pada tulisan yang lain.

Kondisi kekinian yang terjadi pada desa.

Kondisi kekinian yang terjadi di desa, dapat digambarkan, desa dibiarkan berjalan tanpa di dampingi oleh Kader Tehnik Desa dan Pendamping Desa Tekhnik Infrastruktur (PDTI). Jumlah mereka bukan tidak ada sama sekali. Melainkan sangat minim, jika dibandingkan dengan kebutuhan yang harus dipenuhi. Sebagai contoh, Provinsi Banten. Dari kebutuhan PDTI sebanyak 110 PDTI hanya terisi sebanyak 15 PDTI. Artinya, hanya terisi sebanyak 13,64 % dari kebutuhan PDTI. Hal yang sama, hampir terjadi pada semua Provinsi di Indonesia.

Akibatnya, sebanyak 86,36 % kecamatan yang tanpa didampingi tenaga PDTI akan mencari tenaga Tekhnik dari luar kecamatan dan luar dari PDTI. Sebuah langkah terobosan cerdas yang dibenarkan secara aturan. Namun, dari kondisi inilah semua masalah berawal.

Indikasi Penyalah gunaan Dana yang dilakukan Desa.

Dalam pemeriksaan (audit) yang dilakukan oleh Inspektorat atau BPK, maka dasar kerja yang mereka lakukan adalah pemisahan secara tegas antara rencana, pelaksanaan dan hasil akhir yang diperoleh. Tanpa melihat latar belakang, mengapa hal demikian dapat terjadi.

contohnya, Jika pada rencana anggaran biaya, pembuatan pekerjaan jalan dengan rabat beton misalnya, tertera panjang 100 meter, maka hasil akhir yang dilihat oleh Inspektorat dan BPK haruslah 100 meter. Jika kurang dari 100 meter, maka desa terindikasi melakukan penyalah gunaan dana Infrastrukture.

Padahal, pada kenyataannya, desa tidak melakukan penyalah gunaan dana infrastruktur. Lalu, dimana masalahnya. Sehingga timbul masalah dengan kesimpulan akhir, telah terjadi penyalah gunaan dana Infrastrukture.

Untuk menjawab pertanyaan ini, kemungkinannya adalah sebagai berikut :

Satu, Desa menggunakan jasa non PDTI.

Ketika desa ingin merencanakan jalan rabat 100 meter, Desa memberikan data pada pembuat RAB (Rencana Anggaran Biaya) non PDTI, berupa jumlah nominal dana tersedia sesuai RAPBDes, panjang rencana jalan dan daftar survey harga. Setelah dihitung oleh non PDTI ternyata, panjang jalan yang dimungkinan dengan harga nominal yang sesuai APBDes hanya cukup 80 m. data ini, lalu diberikan pada desa, Namun, desa bersikeras agar dana tersebut cukup untuk 100 m. Akibatnya, sang pembuat RAB non PDTI melakukan modifikasi berbagai hal. Bisa dengan memperkecil harga beli material, atau menambah swadaya tenaga kerja (HOK) atau dengan merubah analisa. Apa yang terjadi kemudian?. Ketika pelaksanaan dilakukan, harga material yang dibeli oleh TPK tetap seharga material ketika dilakukan survey. Demikian juga jumlah swadaya tenaga kerja, tidak mungkin digenjot sebanyak yang sesuai pada RAB. Akibatnya, ketika TPK dengan segala upaya penghematan telah berupaya pada pekerjaannya, maka hasil akhir yang mampu mereka peroleh hanya 90 m.

Dua, Desa menggunakan Jasa non PDTI.

Karena, prinsip awalnya tenaga akhli non PDTI hanya memikirkan fee yang bakal mereka peroleh ketika membuat RAB. Maka, non PDTI hanya memerlukan data berapa besar nominal pekerjaan sesuai APBDes dan berapa target volume yang diingnkan desa. Kemudian, mengerjakan RAB sesuai permintaan sang pemberi order, dalam hal ini desa. Maka, akibat yang terjadi, hasil akhir akan sama seperti yang terjadi pada point satu.

Tiga, Menjadi obyek para Tenaga Ahli Kabupaten.

Para tenaga Ahli, akan berusaha mengumpulkan desa-desa pada kecamatan yang tak memiliki PDTI. Lalu, dengan bahasa pembinaan, dibuatlah RAB secara massal dan dengan waktu singkat. Mereka yang dibina adalah tenaga desa, yang sama sekali awam tentang Tekhnis. Lalu, dengan biaya pembinaan yang tidak kecil, selesailah RAB yang dikerjakan. Dengan cara pembinaan yang ngebut dan dikerjakan tenaga awam, maka hasil yang diperoleh sangat meragukan, jika tidak dapat dikatakan amburadul.

Dari ketiga kemungkinan diatas, apakah desa melakukan penyalah gunaan dana? Sama sekali tidak, desa tidak melakukan penyalah gunaan dana.

Empat, Pendampingan yang Mutlak dibutuhkan.

Okelah, urusan pembuatan RAB sesuai dengan kondisi ideal. Apakah masalahnya selesai? Ternyata belum. BPK dan Inspektoran memerlukan laporan pelaksanaan, bagaimana laporan penggunaan dana (LPD), bagaimana dana dicairkan (RPD), bagaimana kualitas Material yang digunakan, dan kapan dana berikutnya dicairkan (verifikasi). Untuk mengawasi seluruh tahap pelaksanaan itu, kehadiran PDTI mutlak dibutuhkan desa. Pertanyaannya, apakah non PDTI mau mendampingi proses pelaksanaan ini? Hemat saya, hal ini sulit dilakukan.

Dengan melihat empat kemungkinan diatas. Apakah benar jika desa dibidik oleh BPK dan Inspektorat terhadap tuduhan penyalah gunaan dana infrastruktur yang dilakukan desa. Meski desa memang tidak melakukannya.

Jika Inspektorat dan BPk tetap pada prinsipnya, ingin melakukan sanksi terhadap penyalah gunaan dana desa Infrastrukture. Maka, kondisi inilah yang saya sebut sebagai sesat pikir BPK dan Inspetorat.

Lalu, siapa yang paling bertanggung jawab atas fenomena diatas? Dengan tegas, saya katakan, kementrian PDTTlah yang paling bertanggung jawab. Merekalah pihak yang paling dulu ditangkap oleh BPK dan Inspektorat.

Desa hanyalah korban dari kebijakan yang dilakukan PDTT. Kebijakan yang berimbas pada tidak terpenuhinya kuota kebutuhan PDTI pada setiap kecamatan. Apapun alasannya. Bukankah pemerintahan Jokowi sudah berlangsung selama tiga tahun. Lalu, apa saja tugas yang mereka lakukan, hingga soal perekrutan PDTI saja, hingga kini belum selesai? Wallahu A’laam.

Minim SDM, TPK Desa Hanya Jadi Boneka Kepala Desa

By On June 13, 2017

Ilustrasi sumber: googlecom
Karebadesa.id - Lebak, Ketua RW Pasirtangkil mengungkapkan bahwa pembangunan jalan di Kampung Pasirtangkil yang tertera di RAB sepanjang 167 meter itu baru dikerjakan sekitar 60 meter, dengan total anggaran Rp75 juta, sementara di Kampung Cimungkal dari rencana yang akan dikerjakan sepanjang 75 meter, hanya baru selesai sekitar 10 meter, sementara total anggaran Rp32 juta.

Besarnya nilai Dana Desa (DD) yang digelontorkan oleh pemerintah pusat ke pemerintah desa untuk mempercepat pembangunan di daerah tidak berjalan mulus. Adanya pembinaan dari pemerintah kecamatan, monitoring inspektorat kabupaten serta pendampingan dari Pendamping Lokal Desa (PLD) dan Pendamping Desa (PD) pun dinilai tidak membuahkan hasil yang maksimal.

Dikutip dari ‘Media Rakyat Banten’, dua titik bangunan fisik di Desa Mekarjaya, Kecamatan Panggarangan, Kabupaten Lebak yang dibiayai dari Dana Desa TA 2016 mangkrak. Ke-dua titik bangunan fisik tersebut yakni pembangunan jalan lingkungan Kampung Pasirtangkil dan Kampung Cimungkal Mekarjaya.

Ironisnya, kata Memed selaku ketua RW Pasirtangkil, keberadaan Tim Pelaksana Kegiatan (TPK) yang memiliki tugas dan fungsi untuk mengelola anggaran dan melaksanakan pembangunan, tak ubahnya hanya menjadi boneka Kepala Desa Mekarjaya, Sudirman. Menurut Memed, selama proses pembangunan, ketua TPK, Haji Uban dan bendaharanya tidak pernah memegang uang.

“TPK hanya menerima material saja, ketua dan bendahara tidak pernah pegang uang. Dari awal uang untuk anggaran dua titik bangunan fisik ini dipegang oleh kepala desa, jadi diduga kuat dana dari ke-dua bangunan fisik ini dipakai oleh kepala desa,” papar Memed.


Hal tersebut pun dibenarkan oleh Erot Rohman, warga Desa Mekarjaya. Erot menduga kuat, Kepala Desa Mekarjaya lah yang telah menyelewengkan anggaran yang merupakan bentuk kongkret perhatian pemerintah terhadap masyarakat guna mendongkrak ketertinggalan yang selama ini membelenggu desa itu.

“Kades Sudirman S.pd diduga kuat mencaplok anggaran pembangunan fisik jalan lingkungan kampung Pasirtangkil dan Mekarjaya. Lebih memalukannya lagi, karena sebetulnya harusnya pembangunan di dua titik tersebut di selesaikan di akhir tahun 2016 tapi sampai hari ini pembangunan tersebut progressnya baru 30 persen,” kata Erot.

Selain mempertanyakan peran pembinaan dan pengawasan dari pihak kecamatan, Erot pun menyinggung keberadaan Pendamping Desa (PD) dan Pendamping Lokal Desa (PLD), karena menurutnya, dari mulai perencanan, pencairan uang hingga pelaksanaan, kegiatan pembangunan fisik di desa sejatinya tidak terlepas dari pendampingan PD dan PLD.

“Diduga kuat pagu anggaran sudah ditarik keseluruhan, logikanya penarikan anggaran mesti diimbangi dengan kemajuan pembangunan di lapangan. Kalau seperti ini kita masyarakat bertanya dimana peran pengawasan yang dilakukan oleh pihak kecamatan, ataupun dimana pendampingan yang dilakukan oleh PD dan PLD, ini seolah-olah ada korporasi,” papar Erot.

RAB Bangunan fisik Desa Mekarjaya

Dengan kondisi ini dia berharap adanya tindakan tegas dari aparat penegak hukum. “Kita sebagai masyarakat berharap adanya upaya tegas dari pihak penegak hukum agar kita masyarakat tidak menjadi korban keculasan penguasa.” tukasnya.

Sumber : poros.id

Contact Form

Name

Email *

Message *